Kamis, 31 Juli 2008

Pemimpin Joss

Pemuda dan segala aktifitasnya adalah aset setiap bangsa. Dengan semangat perubahan yang meledak-ledak dan energi besar yang mampu menggerakkan orang-orang sekitar menyebabkan pemuda menjadi tolak ukur masa depan suatu bangsa. Tak heran banyak pemimpin besar dunia sangat mementingkan peranan pemuda dalam mempengaruhi perjalanan sejarah bangsanya. Proses kaderisasi dengan membina mental pemuda agar mampu berpikir, berenergi dan berjiwa besar menjadi primadona gerakan dalam melanjutkan estafet kepemimpinan.

Indonesia semenjak masuk Orde Reformasi seakan membunyikan lonceng pertarungan yang erat antara kaum muda dan tua dalam mengisi kepemimpinan yang sekarang tidak hanya menjadi monopoli pihak tertentu. Dengan keberanian dan tekad bulat kaum muda yang siap melawan walaupun kadang tercibir dengan ucapan kurang pengalaman dan minimnya pendanaan. Namun euforia reformasi tetaplah milik pemuda karena semakin tahun mereka kaum tua akan semakin tua dan pada gilirannya kaum mudalah yang akan membuktikan keberhasilan kepemimpinannya.

Belajar dari sejarah Orde Baru dimana kepemimpinan puncak bagaikan kepemilikan monopoli membuat kiprah perjuangan pemuda untuk menunjukkan eksistensinya tertutup sudah. Tak heran setelah keran demokrasi kepemimpinan terbuka lebar dengan ditandai runtuhnya rezim Soeharto, berbondong-bondong generasi muda Era Soeharto mencalonkan diri menjadi Presiden RI untuk membuktikan sepak terjang kepemimpinannya. Bagaimana dengan kaum muda era Reformasi yang harus belajar cepat menyesuaikan diri mengisi era kepemimpinan saat ini yang penuh kompetisi? Akankah hanya menjadi penonton dan tidak menjadi apa-apa padahal situasi masa sangat terbuka untuk banyak belajar dan memacu diri? Atau malah terlena dengan candu modernitas yang membuat pemuda layu akan peran dan tajinya dalam melakukan suatu perubahan?

Pemuda adalah Pemimpin

Sejarah telah bercerita. Bukti pun terbuka untuk dibaca. Zaman pergerakan kemerdekaan pemuda adalah pemimpin. Deretan nama mulai Tan Malaka yang memimpin Partai Komunis berusia 24 tahun, Soekarno memimpin PNI-nya umur 26 tahun dan Sjahrir menjadi ketua Pendidikan Nasional Indonesia umur 26 tahun. Lalu di usia rentang 20-30 menjadi titik krusial pembuktian diri pemuda di masyarakat dengan organisasi-organisasi pengabdiannya.

Maka di era kebebasan berpolitik dan berorganisasi selayaknya pemuda berorganisasi dalam suatu wadah untuk memperjuangkan aspirasi tertentu. Dengannya tujuan lebih mudah tercapai dengan kekuatan kebersamaan. Aspirasi lebih nyaring karena berbasis komunitas. Dan menempa pula kepemimpinan muda dalam membuktikan keefektifan perjuangannya.

Jangan sampai pendapat dari sosiolog politik Yudi Latif bahwa kepemimpinan politik Indonesia yang mengalami pemampatan dalam alih generasi selama 30 tahun di Orde Baru terulang kembali (Gatra, 19 april 2007). Kepemimpinan harus teruji dalam organisasi, pengerahan massa, pembentukan opini, daya juang di masyarakat untuk bisa diterima sebagai cita-cita bersama. Makanya institusi pendidikan termasuk Perguruan Tinggi harus menjadi wadah eksperimen pemuda yang berstatus mahasiswa untuk bergerak di masyarakat. Jikalau, tidak maka oganisasi kepemudaan lainnya misal karang taruna pun bisa mengambil peran.

Dengan akses dan kesempatan pemuda untuk tampil memimpin walaupun ini bukan barang gratis yang diberi karena membutuhkan perjuangan, maka pemuda akan merasa tereksplorasi jiwa kepemimpinannya. Sebenarnya poin yang dibentuk disini adalah menumbuhakan karakteristik pemuda yang siap memimpin. Karakter ini jika merunut salah satu survey adalah sebagai berikut :

legiti1

Peduli kepada kepentingan rakyat memegang porsi tertinggi. Yang artinya pemuda harus selalu terjun, terlibat langsung, interaksi efektif dengan rakyat sehingga tahu apa yang rakyat mau. Ini akan menjadi modal besar bagi pemuda untuk melakukan apa yang mereka cita-citakan demi pengabdiannya kepada rakyat.

Pemuda dan Bangsa

Tahun 2002 Indonesia masuk dalam 59 negara gagal yang dibahas World Economic Forum dan Universitas Harvard. Ciri negara gagal, di antaranya angka kriminal dan kekerasan tinggi; korupsi meraja lela; miskinnya opini publik; serta tingginya suasana ketidakpastian (Meuthia Ganie-Rochman, Kompas, 4 Jan’08). Bersandar pada hal ini maka peran pemudalah untuk membuktikan bahwa sebutan tersebut tidak ada lagi. Penanaman watak untuk berlaku menjunjung kebenaran, jujur, aspiratif dan melakukan kontrol sosial yang ketat kepada pemerintah bisa dimulai dari organisasi-organisasi kepemudaan.

Tidak ada satu negara pun yang mau dianggap sebagai negara gagal. Apalagi indonesia. Namun anehnya perubahan signifikan belum dilakukan untuk mengubah stigma ini. Tugas pemuda terhadap kepeduliannya terhadap bangsa bisa dilakukan dengan upaya-upaya konkrit sebagai berikut:

1. Aktif terlibat dalam kegiatan positif masyarakat baik RT maupun RW

2. Melakukan kunjungan pengabdian ke daerah tertinggal Indonesia

3. Melatih organisasi untuk menyiapkan diri sebagai pemimpin

4. Membuka wawasan kenusantaraan demi menanamkan cinta bangsa

5. Kritisisasi pemerintah lewat media dan gerakan

Dengan lima hal di atas bisa menjadi pemicu bagaimana pemuda merasa memiliki bangsa sekaligus terpacu untuk memimpin bangsanya menuju kemajuan.

Dengan menyadari pemuda akan peran besarnya, dengan mengetahui bahwa pemuda adalah pemimpin serta dengan sadar bahwa bangsanya sedang bermasalah maka sudah sepantasnya pemuda bangun untuk membuktikan bahwa kepemimpinan muda memang ada untuk mengusung satu kata perubahan. Ya, perubahan untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur.

1 komentar:

Semangatttttt mengatakan...

asslamualaikum....bapak peminpin joss
saya YAYI etoser'08 Semarang